SWA, 19 September 2006 Oleh : Amalia E. Maulana
Actions speak louder than words. A picture is worth a thousand words.
Dua pepatah di atas tepat untuk menggambarkan kekuatan riset dengan metodologi etnografi. Berbeda dari focus group discussion (FGD), dalam riset etnografi responden tetap berada dalam lingkungan aslinya. Ibu rumah tangga diwawancarai dan diamati perilakunya saat berada di dalam rumah — sedang memasak, membersihkan rumah atau mencuci baju. Seorang eksekutif diamati perilakunya ketika berada di kantor tempat ia bekerja untuk merekam pola penggunaan telepon selulernya. Remaja diamati dan diwawancarai di lingkungan teman-temannya, apakah itu di kafe, lapangan basket atau mal. Tindakan (actions) yang dikerjakan responden merupakan insights tersendiri yang jarang bisa terekam pada saat dilakukan FGD dan/atau survei.
FGD tidak mempunyai dimensi, warna dan human touch yang dimiliki etnografi. Selain tidak adanya privasi, FGD juga dibatasi waktu dan latar lingkungannya yang superficial. Padahal, mengamati responden dalam kesehariannya, mengamati pemakaian produk dalam latar sesungguhnya, adalah sangat penting dalam menggali consumer insights. Berada dalam lingkungannya sendiri, tercipta rasa nyaman bagi responden. Ia dengan bebas bisa menceritakan pendapatnya secara spontan tanpa khawatir penilaian dari responden lainnya.
Pemahaman perilaku remaja, misalnya, sulit terungkap hanya dengan metode konservatif wawancara, survei ataupun FGD. Ekspresi remaja dan hubungannya dengan konsumsi produk hanya bisa dijelaskan dengan menggunakan pendekatan yang lebih natural dan lebih lepas dari batasan lingkup pertanyaan-jawaban. Dengan kejelian tersendiri, pernak-pernik yang ada di sekitar responden ada kalanya juga menjadi inspirasi sumber data bagi periset, menjadi penghubung satu temuan dengan temuan lainnya.
FGD memberikan kita peluang mendengarkan pernyataan responden tentang apa yang mereka kerjakan. Etnografi mencari insights sampai ke akarnya, mencari tahu why do people do what they do, tidak hanya bersumber dari perkataan responden, melainkan diperkaya pula dengan hasil pengamatan, baik itu dalam bentuk aktivitas maupun foto, gambar dan simbol yang berhubungan dengan responden serta produk yang digunakannya.
Teknik riset etnografi ini berkiblat pada riset yang biasa dilakukan sejak ratusan tahun lalu oleh ahli antropologi dalam konteks sosial budaya. Seorang ahli antropologi umumnya tinggal bersama pada periode waktu yang cukup lama dalam masyarakat tertentu. Dulu studi etnografi hanya terfokus pada masyarakat yang masih primitif, sedangkan sekarang dalam konteks etnografi yang modern, teknik riset yang sama dilakukan untuk menggali insights dalam kelompok konsumen pada segmen dan produk tertentu.
Teknik etnografi kini telah banyak digunakan oleh perusahaan besar terutama di negara maju, dan terbukti manfaatnya untuk penciptaan produk baru dan pengembangan merek. Bruce Nussbaum, dalam tulisannya yang dimuat di businessweek online, menyatakan bahwa etnografi ini adalah kompetensi baru yang harus dimiliki perusahaan. Menurutnya, jika P&G, Nike, Phillips dan Apple sudah mengerjakan riset dengan metode etnografi sejak lama, kita tidak perlu heran, mengingat keseharian perusahaan tersebut yang berhubungan dengan konsumen langsung. Yang menjadi kekaguman Nussbaum adalah bagaimana Intel, yang tidak berhubungan langsung dengan konsumen, sudah sangat advanced dalam penggalian insights melalui etnografi. Kegiatan consumer insight di Intel dipimpin Ken Anderson, ahli antropologi. Ken memperoleh pemahaman yang mendalam tentang bagaimana keseharian masyarakat yang hidup dan bekerja di era teknologi, yang kemudian menjadi dasar pijakan oleh Intel dalam menentukan strategi dan pengembangan teknologi.
Kritik yang muncul terhadap metode etnografi ini terutama dari lamanya menyelesaikan sebuah studi. Proses pengumpulan data yang memakan waktu berbulan-bulan sangat tidak praktis dengan agenda perusahaan yang ingin serba cepat dalam pengambilan keputusannya. Syukurlah, dengan bantuan teknologi modern, ada banyak cara untuk memangkas waktu studi etnografi. Dalam perkembangan terakhir metode etnografi, dikenal dua istilah baru: netnography dan digital ethnography.
Netnography adalah studi etnografi yang dikerjakan secara online. Observasi bisa dilakukan dalam diskusi-diskusi di mailing list, yang diikuti dengan eksplorasi secara lebih mendalam melalui online chatting dengan responden. Adapun digital ethnography adalah observasi dengan bantuan kamera digital, baik berupa video maupun foto, yang digunakan untuk melengkapi data yang dikumpulkan periset. Responden diminta mengirimkan cuplikan rekaman atau foto-foto yang diambil dalam kaitannya dengan perilakunya. Misalnya, foto bagian dalam lemari dapur akan menjelaskan banyak hal tentang produk-produk yang digunakan dalam rumah tangga dan menjelaskan karakter pemiliknya. Video tentang sebuah pesta remaja bisa menjadi inspirasi menarik untuk menganalisis perilaku remaja dan produk yang digunakannya.
Etnografi sebenarnya tidak terbatas pada satu jenis teknik saja, tapi merupakan penggabungan dari beberapa teknik riset yang dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi dari beberapa sumber sekaligus. Ada kalanya beberapa jenis riset ini dilakukan secara simultan, sehingga ada unsur pembelajaran pada setiap tahapnya.
http://amaliamaulana.com/2008/06/02/insights-via-ethnography/
1 comment:
Hi mbak Rina, wah menarik ya isi blog nya khususnya yang etnografi. Kebetulan saya sedang mendalami etnografi, karena ada klien saya yang minta jasa tersebut. Oh ya kenalan dulu dech, saya Kelik Harjono dari Pixel Research. Saya di bagian kualitatif, dan saat ini sedang menggali pola approaching yang smooth untuk etnografi. siapa tahu ada waktu untuk diskusi, boleh telp saya di 08129416830. Jazakillah.
Kelik
Post a Comment