Pergolakan Pemikiran Setelah Mengenal Islam
Sulit bagi Kartini untuk bertahan di lingkungan yang bertentangan dengan pemikirannya. Ditengah kuatnya kungkungan adat dan derasnya serangan pemikiran Barat, Kartini mencoba mencari jawaban.
Tahun-tahun terakhir sebelum wafat, Kartini menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanya an yang bergolak di dalam pemikirannya. Ia mencoba mendalami ajaran yang dianutnya, yaitu Islam. Ajaran Islam pada awalnya tak mendapat tempat di benak Kartini. Hal ini dikarenakan pengalaman yang tak mengenakkan dengan Sang ustadzah. Sang ustadzah menolak menjelaskan makna ayat yang sedang diajarkan.
"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa ? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya ?
Al Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab.
Di sini orang diajar membaca Al Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacaya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella ?" (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).
Namun, pertemuannya dengan kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang, telah merubah segalanya. Kartini tertarik pada terjemahan Surat Al Fatihah yang disampaikan sang kyai. Kartinipun mendesak salah satu paman untuk menemaninya bertemu sang kyai. Berikut adalah petikan dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat, yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat.
"Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?". Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh Darat balik bertanya. "Kyai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan main rasa syukur hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al_Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"
Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga belum selesai diterjemahkan seluruh Al Quran ke dalam bahasa Jawa.
Andai saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al Quran) maka tidak mustahil jika ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua kandungan ajarannya. Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Pada mulanya beliau adalah sosok paling keras menentang poligami. Tetapi setelah mengenal ajaran Islam, beliau mau menerimanya.
Upaya Meneladani Kartini
Upaya untuk menerjemahkan perjuangan Kartini oleh kaum wanita sekarang ini nampaknya telah melampaui batas. Petikan surat Kartini berikut ini menegaskan kesalahan penterjemahan kaum wanita Indonesia.
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama" (Surat Kartini kepada Prof. Anton Dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Tak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.
Atas nama perjuangan Kartini, para wanita justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi dan ide-ide Barat yang justru ditentang oleh sang pahlawan. Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu.
Kartini bertekad untuk menjadi seorang muslimah yang baik dengan memenuhi seruan Surat Al Baqarah ayat 193. Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya telah mendoronganya untuk merubah diri dari pemikiran yang salah kepada ajaran Allah. Tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa tujuan Kartini adalah mengajak setiap wanita untuk menjadi muslimah yang memegang teguh ajaran agamanya.
"..., tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna ? dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).
Tahun-tahun terakhir sebelum wafat, Kartini menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanya an yang bergolak di dalam pemikirannya. Ia mencoba mendalami ajaran yang dianutnya, yaitu Islam. Ajaran Islam pada awalnya tak mendapat tempat di benak Kartini. Hal ini dikarenakan pengalaman yang tak mengenakkan dengan Sang ustadzah. Sang ustadzah menolak menjelaskan makna ayat yang sedang diajarkan.
"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa ? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya ?
Al Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab.
Di sini orang diajar membaca Al Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacaya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella ?" (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).
Namun, pertemuannya dengan kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang, telah merubah segalanya. Kartini tertarik pada terjemahan Surat Al Fatihah yang disampaikan sang kyai. Kartinipun mendesak salah satu paman untuk menemaninya bertemu sang kyai. Berikut adalah petikan dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat, yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat.
"Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?". Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh Darat balik bertanya. "Kyai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan main rasa syukur hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al_Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"
Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga belum selesai diterjemahkan seluruh Al Quran ke dalam bahasa Jawa.
Andai saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al Quran) maka tidak mustahil jika ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua kandungan ajarannya. Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Pada mulanya beliau adalah sosok paling keras menentang poligami. Tetapi setelah mengenal ajaran Islam, beliau mau menerimanya.
Upaya Meneladani Kartini
Upaya untuk menerjemahkan perjuangan Kartini oleh kaum wanita sekarang ini nampaknya telah melampaui batas. Petikan surat Kartini berikut ini menegaskan kesalahan penterjemahan kaum wanita Indonesia.
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama" (Surat Kartini kepada Prof. Anton Dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Tak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.
Atas nama perjuangan Kartini, para wanita justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi dan ide-ide Barat yang justru ditentang oleh sang pahlawan. Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu.
Kartini bertekad untuk menjadi seorang muslimah yang baik dengan memenuhi seruan Surat Al Baqarah ayat 193. Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya telah mendoronganya untuk merubah diri dari pemikiran yang salah kepada ajaran Allah. Tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa tujuan Kartini adalah mengajak setiap wanita untuk menjadi muslimah yang memegang teguh ajaran agamanya.
"..., tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna ? dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).
No comments:
Post a Comment