riset di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara berkembang meskipun pemerintah sudah menggalakkan riset diberbagai bidang dan memberikan kemudahan dan akses untuk para peneliti tapi kendala yang sangat krusial adalah masyakat kita yang belum paham arti pentingnya sebuah penelitian. Dan hal ini sangat menyulitkan para peneliti untuk menyebarkan materi survey atau kuesioner.
Contoh yang sering terjadi adalah penolakkan yang kadang tidak sopan, penuh curiga dan sinisme pada tim interviewer. Meskipun para petugas interviewer sudah melengkapi dengan surat tugas, ID card dan materi survey atau kuesioner yang mereka pegang dan terlihat di depan mata masyarakat (responden) tapi tetaplah mendapat reaksi yang kadang diluar dugaan. Terkadang masyarakat (responden) memperlakukan mereka (interviewer) sebagai seorang yang meminta sumbangan, sales-penjual barang rumah tangga/pernak-pernik lainnya (sales door to door), mencurigai seolah survey yang dilakukan pura-pura yang kemudian sebenarnya sales, atau lebih ekstrimnya adalah mencurigai sebagai pengintai untuk mencuri atau merampok.
Responden kadang menyuruh pembantu yang melayani atau cepat-cepat menutup pintu. Bahkan seringkali menghardik untuk menolak. Ini banyak dialami oleh para petugas interviewer padahal mereka adalah pekerja-pekerja yang bekerja untuk mencari kebutuhan keluarga yang dibayar tanpa embel-embel jaminan askes, keamanan dan tidak ada uang makan, mereka hanya dibayar per satu responden yang sudah berhasil di wawancara dan mendapat transportasi.
Meskipun sudah menjadi resiko para pekerja lapangan yang berhubungan langsung dengan masyarakat mereka mendapat perlakuan tidak sopan dan sebagainya. Ini sangat berbeda dengan para reporter yang notabenya sama-sama di “field” , pekerjaan reporter jarang mendapat penolakan dimasyarakat karena mereka (masyarakat) sudah welcome dengan bermacam-macam liputan, bahkan mereka antusias karena di kamerakan. Selain itu meski tidak berhasil mewawancara mereka tetap dibayar karena manajemennya sistem kontrak.
Saya pernah menemani para petugas interviewer ini untuk melihat bagaimana cara kerja mereka dan bagaimana respon masyarakat kita apakah mereka familiar dengan survey/kuesioner, welcome saja atau sebaliknya.
Ternyata hanya 10 : 1 hanya 10% saja masyarakat kita yang bisa “Welcome” dengan survey selebihnya mereka belum mengerti dan belum paham arti, makna dan maksud sebuah survey dilaksanakan.
Bahkan pernah ada seorang responden menanyakan.”Saya dapat apa, dapat uang berapa?” lalu ada juga merasa dimata-matai mengatakan,”Saya tidak pernah berhubungan dengan perusahaan survey!”…, “Saya tidak ingin membeli produk!”… dan lain-lain sebagainya.
Padahal riset tersebut dilakukan selain untuk memecahkan masalah-masalah yang sering menjadi ketidak puasan dan berbagai komplain masyarakat akan suatu produk atau jasa pada industri pasar juga untuk mencapai tingkat mutu yang diinginkan konsumen dan selain itu untuk menciptakan inovasi-inovasi baru. Dan semua itu untuk pencapaian target market dan memenuhi harapan konsumen akan produk dan jasa.
Lalu layakkah para petugas interviewer itu diperlakukan tidak sopan?... dan seandainya bahkan sudah semestinya pemerintah memberikan himbauan dan slogan akan pemahaman arti, makna dan maksud riset-riset yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan industri bahwa riset tersebut memiliki tujuan dan manfaat bagi masyarakat nantinya, saya berharap oleh pemerintah untuk jangkauan luasnya supaya masyarakat bisa “welcome” akan sebuah riset/penelitian dan mereka tanpa sunkan bahkan harapannya mereka bisa antusias untuk di survey/menjawab kuesioner…
Itu semua harapan saya…, karena kapan Indonesia bisa mengejar ketinggalan demi ketinggalan untuk kemajuan industri di berbagai bidang jika para konsumennya yaitu masyarakat sendiri tidak “familiar” dengan sebuah riset dan tidak responsive untuk mendukung tujuan riset tersebut, bener gak?...
Contoh yang sering terjadi adalah penolakkan yang kadang tidak sopan, penuh curiga dan sinisme pada tim interviewer. Meskipun para petugas interviewer sudah melengkapi dengan surat tugas, ID card dan materi survey atau kuesioner yang mereka pegang dan terlihat di depan mata masyarakat (responden) tapi tetaplah mendapat reaksi yang kadang diluar dugaan. Terkadang masyarakat (responden) memperlakukan mereka (interviewer) sebagai seorang yang meminta sumbangan, sales-penjual barang rumah tangga/pernak-pernik lainnya (sales door to door), mencurigai seolah survey yang dilakukan pura-pura yang kemudian sebenarnya sales, atau lebih ekstrimnya adalah mencurigai sebagai pengintai untuk mencuri atau merampok.
Responden kadang menyuruh pembantu yang melayani atau cepat-cepat menutup pintu. Bahkan seringkali menghardik untuk menolak. Ini banyak dialami oleh para petugas interviewer padahal mereka adalah pekerja-pekerja yang bekerja untuk mencari kebutuhan keluarga yang dibayar tanpa embel-embel jaminan askes, keamanan dan tidak ada uang makan, mereka hanya dibayar per satu responden yang sudah berhasil di wawancara dan mendapat transportasi.
Meskipun sudah menjadi resiko para pekerja lapangan yang berhubungan langsung dengan masyarakat mereka mendapat perlakuan tidak sopan dan sebagainya. Ini sangat berbeda dengan para reporter yang notabenya sama-sama di “field” , pekerjaan reporter jarang mendapat penolakan dimasyarakat karena mereka (masyarakat) sudah welcome dengan bermacam-macam liputan, bahkan mereka antusias karena di kamerakan. Selain itu meski tidak berhasil mewawancara mereka tetap dibayar karena manajemennya sistem kontrak.
Saya pernah menemani para petugas interviewer ini untuk melihat bagaimana cara kerja mereka dan bagaimana respon masyarakat kita apakah mereka familiar dengan survey/kuesioner, welcome saja atau sebaliknya.
Ternyata hanya 10 : 1 hanya 10% saja masyarakat kita yang bisa “Welcome” dengan survey selebihnya mereka belum mengerti dan belum paham arti, makna dan maksud sebuah survey dilaksanakan.
Bahkan pernah ada seorang responden menanyakan.”Saya dapat apa, dapat uang berapa?” lalu ada juga merasa dimata-matai mengatakan,”Saya tidak pernah berhubungan dengan perusahaan survey!”…, “Saya tidak ingin membeli produk!”… dan lain-lain sebagainya.
Padahal riset tersebut dilakukan selain untuk memecahkan masalah-masalah yang sering menjadi ketidak puasan dan berbagai komplain masyarakat akan suatu produk atau jasa pada industri pasar juga untuk mencapai tingkat mutu yang diinginkan konsumen dan selain itu untuk menciptakan inovasi-inovasi baru. Dan semua itu untuk pencapaian target market dan memenuhi harapan konsumen akan produk dan jasa.
Lalu layakkah para petugas interviewer itu diperlakukan tidak sopan?... dan seandainya bahkan sudah semestinya pemerintah memberikan himbauan dan slogan akan pemahaman arti, makna dan maksud riset-riset yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan industri bahwa riset tersebut memiliki tujuan dan manfaat bagi masyarakat nantinya, saya berharap oleh pemerintah untuk jangkauan luasnya supaya masyarakat bisa “welcome” akan sebuah riset/penelitian dan mereka tanpa sunkan bahkan harapannya mereka bisa antusias untuk di survey/menjawab kuesioner…
Itu semua harapan saya…, karena kapan Indonesia bisa mengejar ketinggalan demi ketinggalan untuk kemajuan industri di berbagai bidang jika para konsumennya yaitu masyarakat sendiri tidak “familiar” dengan sebuah riset dan tidak responsive untuk mendukung tujuan riset tersebut, bener gak?...
No comments:
Post a Comment