Jam. 09.30, persisnya di pertokoan dekat terminal Kampung Malayu saya bertemu seorang wanita tua yang renta tapi masih kuat dan sehat untuk berjalan sedang asyiknya makan di warung soto betawi. Begitu asyiknya beliau makan sampai saya pun tergugah untuk coba mampir di warung tersebut..., ehmmm setelah saya cicipi semangkuk soto ternyata lumayan lezat... Mamamia!.
Lalu terjadilah perkenalan dengan si ibu ini sayangnya saya tidak sempat untuk menanyakan nama beliau. Setelah banyak terlibat pembicaraan demi pembicaraan yang diawali membahas tentang "pemilu" yang acak adut... kata beliau sampailah beliau bercerita ketika masih bekerja sebagai "Koki" di kedutaan German dengan awal gaji sebesar Rp. 75.000 pada tahun 70-an bisa dibilang cukup besar pada zaman itu dan jika di kalkulasi dengan mata uang sekarang sama lah dengan gaji seorang satpam 3 tahun lalu sebesar Rp. 3.000.000. yang pernah ngobrol ketika saya dan teman mengurus visa ke German.
Sejak awal saya sudah menduga ibu ini bukan dari kalangan bawah atau tanpa pendidikan dan pengalaman yang lingkungan sosialnya intelek karena dari setiap cara bicara dan penyampaian serta isi bicara seseorang (nilai pemahaman seseorang) dapatlah menunjukkan dari mana latar belakang ibu ini. Ibarat orang tua-tua dulu bilang; "Bahasa dan cara bicara seseorang menunjukkan dari mana latar belakang budaya, pendidikan dan pergaulannya". Nah begitu pula dengan sopan-santunnya dan keramah-tamahan ibu ini, bagaimana beliau menggeser badannya ketika saya hendak duduk dan ketika beliau bertanya sesuatu begitu sopan-santunnya dan menatap mata saya sambil tersenyum.
Mengingatkan saya pada 10 tahun yang lalu ketika saya pulang kuliah dari Serpong di ciputat (P.14... kalau tidak salah K. Rambutan-Ciputat) bertemu dengan seorang ibu-ibu tua dengan pakaian amat sangat bersahaja yang mencoba pindah duduk kesamping bangku saya dengan sopan-santunnya di berkata; "Bolehkah saya duduk di sebelah anda?",... saya begitu tertegun dengan pertanyaan sopan-santun beliau... saya langsung menduga ibu ini bukan orang sembarangan pasti memiliki latar belakang yang sangat tinggi nilai-nilai kesopanannya. Lalu kami terlibat pembicaraan pembaca mau tahu... dugaan saya tidka meleset beliau mantan dosen bahasa Indonesia di beberapa negara Eropa dan AS yang bersuamikan seorang diplomat.
Coba pembaca perhatikan dan amati ketika anda sedang berada di bus, trotoar atau dimana pun anda berada di tempat umum lalu ada seseorang yang ingin duduk, lewat atau bertanya sesuatu... pasti kalimatnya seperti ini; "geser donk?", atau "permisi/misi" atau juga "Pak/Bu/Mas/Mbak tahu alamat ini gak?",... dan lain sebagainya. Ceplas-ceplos, nyablak, nyeletuk dan kalimat langsung jarang dan bahkan sudah tidak ada yang mengawali dengan sopan-santun... alias sudah basi. Langsung aje...
Tapi saya tidak mengatakan hanya orang-orang yang berada di lingkungan atau punya pengalaman di lingkungan Eropa atau AS saja pasti ada banyak orang-orang yang masih memegang dan menerapkan dalam kehidupannya dengan nilai-nilai kesopanan dan kesantunan. Tapi khususnya saya lebih sering mendapati dan memperhatikan perbedaan antara orang Indonesia sendiri terhadap orang Indonesia (padahal Indonesia dikenal orang Asing dengan keramah-tamahannya dan sopan-santunnanya) dibandingkan dengan orang Asing yang lebih mampu bersopan-santun ala orang Indonesia (tempo dulu- super ramah).
So saya jadi melenjeng dari yang ingin saya tulis. Saya menyayangkan ibu yang diatas saya ceritakan kenapa,... setelah pensiun beliau hidup layaknya yang orang bilang "hidup enak/senang" dan tidak semestinya hidup dari tanggungan anak dan cucu padahal beliau adalah seorang matan "koki" kedutaan German dengan penghasilan Rp. 75.000 terbilang sangat mewah dan kata beliau ketika masih bekerja dahulu usia 50 tahun pernah terkena stroke dan mendapat pengobatan yang sangat baik yang ditangani oleh seorang dokter German langsung atas tanggungan biaya dari kedutaan German tapi ketika memasuki usia 66 tahun sekarang ini tidak ada lagi sisa-sisa pendapatan yang bisa di harapkan jika disesuaikan dengan kebutuhan hidup zaman kini yang serba MAHAL. Layakkah para pensiunan hidup serba kekurangan... padahal setiap manusia selalu memimpikan hidup di hari tua... tinggal menikmati hasil dari jerih payah bekerja dimasa muda.
Seringkali saya jika melihat para orang-orang tua yang renta dan rapuh tapi mereka masih saja bekerja... kadang mereka menjual makanan kecil ke gang-gang sempit, mendorong gerobak, menjajakan minuman dan lain sebagainya... miris hati... rasanya.
Mengapa kemegahan dan gemerlap kehidupan (yang positif) seperti rumah mewah, mobil mewah, apartemen, dan fasilitas hidup lainnya lebih banyak orang-orang muda yang menikmati..., Mengapa mereka yang tua renta-rapuh dan diusia yang senja masih DIBEBANI oleh MAHAL-nya kebutuhan demi kebutuhan primer bahkan kebutuhan sekunder dan mungkin teknologi padahal mereka mampu pun tidak untuk bisa menikmati yang notabe-nya mereka mengerti pun tidak...
Lalu terjadilah perkenalan dengan si ibu ini sayangnya saya tidak sempat untuk menanyakan nama beliau. Setelah banyak terlibat pembicaraan demi pembicaraan yang diawali membahas tentang "pemilu" yang acak adut... kata beliau sampailah beliau bercerita ketika masih bekerja sebagai "Koki" di kedutaan German dengan awal gaji sebesar Rp. 75.000 pada tahun 70-an bisa dibilang cukup besar pada zaman itu dan jika di kalkulasi dengan mata uang sekarang sama lah dengan gaji seorang satpam 3 tahun lalu sebesar Rp. 3.000.000. yang pernah ngobrol ketika saya dan teman mengurus visa ke German.
Sejak awal saya sudah menduga ibu ini bukan dari kalangan bawah atau tanpa pendidikan dan pengalaman yang lingkungan sosialnya intelek karena dari setiap cara bicara dan penyampaian serta isi bicara seseorang (nilai pemahaman seseorang) dapatlah menunjukkan dari mana latar belakang ibu ini. Ibarat orang tua-tua dulu bilang; "Bahasa dan cara bicara seseorang menunjukkan dari mana latar belakang budaya, pendidikan dan pergaulannya". Nah begitu pula dengan sopan-santunnya dan keramah-tamahan ibu ini, bagaimana beliau menggeser badannya ketika saya hendak duduk dan ketika beliau bertanya sesuatu begitu sopan-santunnya dan menatap mata saya sambil tersenyum.
Mengingatkan saya pada 10 tahun yang lalu ketika saya pulang kuliah dari Serpong di ciputat (P.14... kalau tidak salah K. Rambutan-Ciputat) bertemu dengan seorang ibu-ibu tua dengan pakaian amat sangat bersahaja yang mencoba pindah duduk kesamping bangku saya dengan sopan-santunnya di berkata; "Bolehkah saya duduk di sebelah anda?",... saya begitu tertegun dengan pertanyaan sopan-santun beliau... saya langsung menduga ibu ini bukan orang sembarangan pasti memiliki latar belakang yang sangat tinggi nilai-nilai kesopanannya. Lalu kami terlibat pembicaraan pembaca mau tahu... dugaan saya tidka meleset beliau mantan dosen bahasa Indonesia di beberapa negara Eropa dan AS yang bersuamikan seorang diplomat.
Coba pembaca perhatikan dan amati ketika anda sedang berada di bus, trotoar atau dimana pun anda berada di tempat umum lalu ada seseorang yang ingin duduk, lewat atau bertanya sesuatu... pasti kalimatnya seperti ini; "geser donk?", atau "permisi/misi" atau juga "Pak/Bu/Mas/Mbak tahu alamat ini gak?",... dan lain sebagainya. Ceplas-ceplos, nyablak, nyeletuk dan kalimat langsung jarang dan bahkan sudah tidak ada yang mengawali dengan sopan-santun... alias sudah basi. Langsung aje...
Tapi saya tidak mengatakan hanya orang-orang yang berada di lingkungan atau punya pengalaman di lingkungan Eropa atau AS saja pasti ada banyak orang-orang yang masih memegang dan menerapkan dalam kehidupannya dengan nilai-nilai kesopanan dan kesantunan. Tapi khususnya saya lebih sering mendapati dan memperhatikan perbedaan antara orang Indonesia sendiri terhadap orang Indonesia (padahal Indonesia dikenal orang Asing dengan keramah-tamahannya dan sopan-santunnanya) dibandingkan dengan orang Asing yang lebih mampu bersopan-santun ala orang Indonesia (tempo dulu- super ramah).
So saya jadi melenjeng dari yang ingin saya tulis. Saya menyayangkan ibu yang diatas saya ceritakan kenapa,... setelah pensiun beliau hidup layaknya yang orang bilang "hidup enak/senang" dan tidak semestinya hidup dari tanggungan anak dan cucu padahal beliau adalah seorang matan "koki" kedutaan German dengan penghasilan Rp. 75.000 terbilang sangat mewah dan kata beliau ketika masih bekerja dahulu usia 50 tahun pernah terkena stroke dan mendapat pengobatan yang sangat baik yang ditangani oleh seorang dokter German langsung atas tanggungan biaya dari kedutaan German tapi ketika memasuki usia 66 tahun sekarang ini tidak ada lagi sisa-sisa pendapatan yang bisa di harapkan jika disesuaikan dengan kebutuhan hidup zaman kini yang serba MAHAL. Layakkah para pensiunan hidup serba kekurangan... padahal setiap manusia selalu memimpikan hidup di hari tua... tinggal menikmati hasil dari jerih payah bekerja dimasa muda.
Seringkali saya jika melihat para orang-orang tua yang renta dan rapuh tapi mereka masih saja bekerja... kadang mereka menjual makanan kecil ke gang-gang sempit, mendorong gerobak, menjajakan minuman dan lain sebagainya... miris hati... rasanya.
Mengapa kemegahan dan gemerlap kehidupan (yang positif) seperti rumah mewah, mobil mewah, apartemen, dan fasilitas hidup lainnya lebih banyak orang-orang muda yang menikmati..., Mengapa mereka yang tua renta-rapuh dan diusia yang senja masih DIBEBANI oleh MAHAL-nya kebutuhan demi kebutuhan primer bahkan kebutuhan sekunder dan mungkin teknologi padahal mereka mampu pun tidak untuk bisa menikmati yang notabe-nya mereka mengerti pun tidak...
No comments:
Post a Comment